Skripsi Judul Aborsi

BAB I

P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang Penelitian

Tujuan negara Indonesia seperti dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia. Hal ini berarti Pemerintah berkewajiban melindungi tiap kepentingan dan hak-hak azasi warga negara Indonesia di berbagai segi kehidupan yang telah diatur secara yuridis formal di dalam Undang-Undang Dasar 1945, antara lain pada pasal 27 Undang-Undang dasar 1945 yang menegaskan persamaan kedudukan tiap warga negara dalam hukum. Sehubungan dengan itu dan sekaligus sebagai negara hukum, dilaksanakanlah pembangunan termasuk di bidang hukum itu sendiri untuk meningkatkan kepastian dan ketertiban hukum benar-benar mampu menjadi pengayom masyarakat, disamping itu juga dilanjutkan upaya pembaharuan hukum serta peningkatan kemampuan dan kewibawaan aparatur penegak hukumnya, dalam lingkungan masyarakat.

1

Sasaran pembangunan bukan hanya di bidang hukum saja akan tetapi pemerintah juga melaksanakan pembangunan di bidang kesehatan bagi seluruh warga masyarakat, agar menjadi sumber daya manusia yang berkualitas serta dapat berkreatifitas sehingga bisa mencapai tingkat kesejahteraan hidup yang baik dan untuk menciptakan atau mencapai kesejahteraan hidup di dalam lingkungan rumah tangga, maka pihak pemerintah menggalakkan program keluarga berencana.

Program keluarga berencana disamping untuk menciptakan kesejahteraan hidup di dalam suatu rumah tangga juga bertujuan memperkecil atau memperlambat pertumbuhan jumlah penduduk, sebab dengan adanya program keluarga berencana masalah tingkat kelahiran yang cukup tinggi di Negara Indonesia dapat dikurangi, oleh karena itu perluasan dan peningkatan program keluarga berencana melibatkan berbagai pihak termasuk juga mereka yang melangsungkan perkawinan agar turut melaksanakannya.

Hal ini adalah sejalan dengan ketetapan Nomor II/MPR/1993, Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang menyebutkan bahwa pembangunan kependudukan diarahkan pada peningktan kualitas penduduk dan pengendalian laju pertumbuhan penduduk, serta perwujudan keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Upaya penurunan tingkat pertumbuhan penduduk perlu dilanjutkan dan lebih ditingkatkan. Upaya persebaran penduduk secara serasi, antara lain melalui transmigrasi perlu dilanjutkan dan lebih diarahkan kepada transmigrasi swakarsa. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat serta meningkatkan mutu dan kemudahan pelayanan kesehatan yang harus makin terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat serta meningkatkan gizi dan membudayakan sikap hidup lebih bersih dan sehat, didukung dengan pembangunan perumahan dan pemukiman yang layak.

Dalam rangka meningkatkan pembangunan di bidang kesehatan yang telah diprogramkan oleh Pemerintah para ahli medis dan dokter sangat berperan sekali guna mengantisipasi bermacam-macam jenis penyakit yang dapat diderita oleh setiap orang di lingkungan masyarakat, sehingga untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas dapat tercapai seperti apa yang diharapkan.

Para ahli medis atau dokter dalam menjalankan tugas dapat melakukan perbuatan yang dikatagorikan sebagai perbuatan yang dikatagorikan sebagai perbuatan pidana yaitu apabila ahli medis atau dokter tersebut melaksanakan praktek dengan cara menyimpang dari ketentuan hukum yang telah ditentukan.

Salah satu tindakan para medis atau dokter yang menyimpang dari ketentuan abortus atau pengguguran kandungan terhadap seorang ibu yang hamil. Sedangkan perbuatan yang demikian adalah merupakan suatu perbuatan kejahatan, sebab pengguguran kandungan bagi seorang ibu yang hamil sama halnya dengan menghilangkan nyawa seseorang.

Dilihat dari perkembangannya khususnya di Kotamadia Pontianak masih ada dokter yang sering melakukan perbuatan abortus atau melakukan perbuatan pengguguran kandungan terhadap seorang ibu yang sedang hamil. Istilah pengguguran kandungan yang dipergunakan oleh dokter tersebut disebut dengan istilah “Kuretase” (Kuret), sedangkan artinya ialah membersihkan kandungan seorang ibu yang hamil dengan tujuan untuk menyelamatkan nyawa ibu tersebut, karena janin yang ada dalam kandungan telah cacat atau sudah mati.

Namun pada kenyataannya sekarang ini Kuret sering dilakukan oleh ahli medis atau dokter terhadap seorang ibu yang hamil berusia lebih 3 (tiga) bulan sampai dengan 4 (empat) bulan, sedang janin yang di Kuret dalam kandungan tersebut adalah masih utuh atau tidak dalam keadaan cacat atau sudah mati. Hal ini tidak menutup kemungkinan akan memberikan kesempatan terhadap para wanita yang hamil tanpa suami atau ditinggalkan seorang kekasihnya untuk melakukan pengguguran kandungan demi menutup aibnya.

Sebelum tindakan Kuret tersebut dilaksanakan oleh dokter maka pasien itu disuruh mengisi blanko surat pernyataan yang telah disediakan, sedangkan inti dari surat pernyataan tersebut yaitu menyatakan bahwa pasien yang dikuret adalah atas kehendak suami/istri, akan tetapi bukan atas kehendak orang lain, dan surat pernyataan yang telah dibuat ditanda tangani oleh pasien bersama suaminya.

Terhadap seorang ibu, Kuret ini dilakukan disebabkan oleh faktor tidak berhasilnya metode KB (keluarga Berencana) yang dipergunakan ibu tersebut sehingga mengakibatkan jarak kelahiran anaknya terlalu rapat, disamping itu keadaan perekonomian dalam keluarganya belum stabil. Kemudian terhadap wanita yang hamil tanpa suami atau ditinggalkan kekasihnya adalah disebabkan oleh faktor ingin menutupi rasa aibnya. Sedangkan faktor yang menyebabkan ahli medis atau dokter sering melakukan Kuret karena merupakan tindakan medis.

Untuk menjaga kepaentingan hukum guna menyelamatkan bayi yang masih dalam kandungan maka perlu adanya suatu langkah-langkah serta upaya dari pihak pemerintah yang berwenang untuk menanggulangi dan mengambil tindakan secara tegas yaitu baik melakukan tindakan secara preventif maupun represif terhadap mereka yang melakukan pengguguran kandungan tersebut. Bertitik tolah dari uraian di atas, maka penulis sangat tertarik sekali untuk melakukan penelitian skripsi dengan judul :

“MALPRAKTEK OLEH DOKTER DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PASAL 348 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DI KOTAMADIA PONTIANAK.

B. Masalah Penelitian

Berdasarkan pada judul dan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka penulis akan merumuskan masalah sebagai berikut : Apakah perbuatan pengguguran kandungan yang dilakukan oleh Dokter dengan alasan tindakan medis dapat dikwalifisir ke dalam pasal 348 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian yang ingin dicapai oleh peneliti adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengungkapkan fakta-fakta perbuatan kejahatan pengguguran kandungan yang dilakukan dokter dengan alasan tindakan medis.

2. Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul terhadap perbuatan pengguguran kandungan yang dilakukan oleh dokter karena atas permintaan pasiennya.

3. Untuk mengetahui faktor penyebab sehingga seorang ibu yang hamil itu cenderung mempunyai niat melakukan pengguguran kandungannya.

4. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan hukum, khususnya kesadaran hukum masyarakat dalam usaha menanggulangi perbuatan pengguguran kandungan.

D. Kerangka Pemikiran

1. Tinjauan Pustaka

Hukum Pidana termasuk kaedah hukum imperatif yang sanksinya bersifat apriori memaksa berupa penderitaan terhadap sipelanggarnya, karena melakukan perbuatan atau menimbulkan akibat yang dilarang menurut perUndang-Undangan Hukum Pidana.

Menurut Roeslan Saleh : “Perbuatan yang oleh aturan Hukum Pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dinamakan perbutan Pidana, juga disebut orang dengan delik”. [1]

Berdasarkan pada pendapat tersebut di atas dapat diketahui bahwa yang dikatakan sebagai perbuatan pidana yaitu setiap perbuatan yang dilarang dan diatur oleh ketentuan hukum pidana, oleh karena itu maka jelas bahwa tindakan seorang dokter yang melakukan perbuatan Kuret karena alasan medis dapat dikatagorikan sebagai perbuatan yang melanggar ketentuan hukum pidana, karena tindakannya itu sengaja menggugurkan kandungan seorang ibu.

Kemudian Moeljatno memberikan Pengertian Tentang Perbuatan Pidana sebagai berikut :

Perbuatan Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan Hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingatkan bahwa larangan ditujukan kepada perbutan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu.[2]

Jika demikian dapat dikemukakan, bahwa perbuatan pidana adalah merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh setiap orang yang menimbulkan suatu akibat tertentu dan perbuatan tersebut dilarang oleh ketentuan peraturan yang diancam dengan hukuman. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tindakan seorang dokter yang melakukan perbuatan Kuret terhadap seorang ibu dan janin dalam kandungan masih sehat meskipun atas permintaan pasien serta keluarganya, jelas tindakan yang demikian merupakan suatu perbuatan kejahatan, sebab akibat dari perbuatan yang dilakukannya itu menyebabkan matinya bayi atau gugurnya kandungan seorang ibu yang sedang hamil.

Sedangkan menurut Simon menjelaskan tentang Strafbaarfiet (tindak Pidana) harus memuat unsur-unsur yaitu :

1. Suatu perbuatan manusia (menselijkt handelingen. Dengan handelingen dimaksudkan tidak saja “een doen” (perbuatan), akan tetapi juga “een natalen” (mengabaikan).

2. Perbuatan itu ( yaitu perbuatan dan mengabaikan ) dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.

3. Perbuatan itu harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkab, artinya dapat dipersalahkan karena melakukan perbuatan tersebut.[3]

Sesuai dengan pendapat tersebut di atas dapat suatu kesimpulan bahwa seorang yang dikatakan memenuhi suatu unsur tindak pidana yaitu apabila seorang melakukan suatu perbuatan dengan mengabaikan larangan yang tidak boleh dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku dan orang yang dapat dipertanggung jawabkan, karena kesalahan itu.

Sedangkan menurut Satochid Kartanegara mengatakan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut :

1. Unsur-unsur obyektif : yaitu unsur-unsur yang terdapat di luar si pelaku, yaitu berupa :

a. perbuatan

b. akibat

c. masalah (omstandigheden).

2. Unsur-unsur subyektif, yaitu yang berupa :

a. toerekeningsvatbaarheid dari si pelaku

b. schuld yang ada pada si pelaku.[4]

Jadi unsur obyektif atau unsur yang terdapat di luar diri si pelaku yaitu perbuatan seseorang yang menimbulkan sesuatu akibat tertentu serta menjadi permasalahan dalam ketentuan hukum.

Sedangkan unsur subyektif atau yang terdapat pada diri si pelaku yaitu menentukan bahwa si pelakunya harus seorang yang dapat dipertanggung jawabkan karena adanya kesalahannya. Sehubungan dengan hal tersebut jelas bahwa Kuret yang dilakukan oleh dokter terhadap janin yang berumur kurang lebih 3 (tiga) sampai 4 (empat) bulan dengan alasan tindakan medis dapat dikatagorikan sebagai perbuatan kejahatan, sebab mengakibatkan gugurnya kandungan seorang ibu.

Perbuatan yang demikian adalah sangat bertentangan dengan ketentuan sebagaimana yang diatur pada pasal 299 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yakni menentukan :

(1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang perempuan atau mengerjakan sesuatu perbuatan terhadap seorang perempuan dengan memberitahukan atau menimbulkan pengharapan, bahwa oleh karena itu dapat gugur kandungannya, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 45.000,-

(2) Kalau sitersalah mengerjakan itu karena mengharapkan keuntungan, dari pekerjaannya atau kebiasaannya dalam melakukan kejahatan itu, atau kalau ia seorang tabib, dukun beranak (bidan) atau tukang membuat obat, hukuman itu dapat ditambah dengan sepertiganya.

(3) Kalau sitersalah melakukan kejahatan itu dalam jabatannya dapat ia dipecat dari pekerjaannya itu.[5]

Uraian ketentuan pasal tersebut di atas adalah menekankan bahwa setiap orang yang berusaha untuk menggugurkan kandungannya adalah tidak tidak dibenarkan oleh ketentuan hukum, akan tetapi apabila dilihat pada perkembangannya para dokter di Kotamadya Pontianak sering melakukan pengguguran kandungan terhadap janin yang berumur kurang lebih 3 (tiga) bulan sampai 4 (empat) bulan dengan alasan tindakan medis, meskipun atas permintaan pasien bersama keluarga/suami.

Sehubungan dengan hal tersebut dalam pasal 348 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang menyebutkan :

(1) Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya seorang perempuan dengan izin perempuan itu dihukum penjara paling lama lima tahun enam bulan.

(2) Jika karena perbuatan itu perempuan itu mati, dia dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun. [6]

Berdasarkan uraian pengertian tersebut di atas dapat diketahui bahwa perbuatan pengguguran kandungan atas permintaan pasien dan dilakukan oleh dokter dengan alasan tindakan medis dapat dikualifisir sebagai tindakan kriminalitas, karena perbuatan para pelakunya telah memenuhi unsur sebagaimana yang telah ditentukan dalam ketentuan pasal tersebut.

Kemudian motif pengguguran kandungan yang sering dilakukan oleh dokter yaitu melakukan pengobatan atau mengeluarkan janin dari dalam rahim dengan menggunakan alat medis, sedangkan tindakan seorang dokter yang melakukan perbuatan itu disebut dengan istilah “Kuret”, oleh karena itu tindakan seorang dokter yang melakukan penyimpangan dari ketentuan hukum yang berlaku tidak boleh dibiarkan berkembang, sebab haltersebut akan memberikan kesempatan atau peluang bagi para wanita yang hamil untuk menggugurkan kandungannya karena tidak menginginkan kehadiran seorang anak di dunia ini.

Perbuatan seseorang yang melakukan pengguguran kandungan adalah dikualifisir sebagai tindak pidana yang dikenal dengan istilah “Abortus Provocatus Criminalis”, kemudian atas dasar tersebut Bambang Poernomo memberikan pengertian bahwa :

Abortus yang dibuat dengan sengaja oleh seorang dokter dengan maksud sebagai perbuatan yang tercela, yang melawan hukum, atau perbuatan kejahatan.[7]

Dari uraian tersebut di atas dapat diperoleh suatu pengertian bahwa pengguguran kandungan adalah merupakan perbuatan yang dikatagorikan sebagai perbuatan kejahatan, sebab tindakan yang demikian jelas bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sehubungan dengan hal tersebut dapatlah dikatakan bahwa perbuatan seorang dokter yang melakukan Kuret terhadap seorang ibu yang hamil, sedangkan diketahuinya bahwa janin di dalam rahim ibu tersebut tidak dalam keadaan cacat atau dalam keadaan yang sehat, dan perbuatan yang demikian itu jelas melawan ketentuan hukum yang berlaku, sebab tindakan tersebut sengaja menghilangkan janin di dalam rahim seorang ibu.

Sedangkan pengertian abortus menurut ilmu hukum adalah lahirnya kandungan sebelum waktunya oleh suatu perbuatan seorang yang bersifat sebagai perbuatan pidana kejahatan, jadi disini perkaranya adalah suatu perbuatan seseorang yang bersifat sebagai perbuatan pidana kejahatan.[8]

Bertitik tolak dengan pengertian tersebut jelas bahwa kuret yang dilakukan oleh seorang dokter atau ahli medis terhadap seorang ibu hamil yang janinnya tidak dalam keadaan cacat atau mati dengan alasan tindakan medis dapat dikatagorikan sebagai perbuatan kejahatan, karena tindakan dokter atau ahli medis tersebut melahirkan kandungan sebelum waktunya. Oleh karena itu perbuatan tersebut tidak boleh dibiarkan berkembang dalam lingkungan masyarakat, sebab tindakan yang demikian adalah bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Demi untuk menegakkan kepaentingan hukum serta melindungi janin atau bayi yang masih dalam kandungan maka perlu adanya suatu upaya dari aparat yang berwenang untuk melakukan penanggulangan serta memberikan tindakan secara tegas terhadap para pelaku yang terlibat dalam pengguguran kandungan tersebut, hal demikian tidak boleh dibiarkan berkembang karena bertentangan dengan norma-norma ketentuan hukum yang berlaku serta merusak keseimbangan dalam lingkungan masyarakat.

2. Kerangka Konsep

Penerapan hukum pidana secara efektip merupakan syarat mutlak dalam rangka penegakan hukum di negara indonesia, akan tetapi tidak semua perbuatan yang dapat dihukum meskipun perbuatan itu memenuhi unsur-unsur sebagaimana yang dirumuskan dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau dikualifisir sebagai tindak pidana.

Perbuatan kejahatan adalah merupakan suatu masalah yang harus diantisipasi, sebab kejahatan itu selalu berkembang seiring dengan lajunya pertumbuhan pembangunan dan mengenai timbulnya perbuatan kejahatan itu adalah bermacam-macam bentuk serta cara yang dipergunakan untuk melakukannya.

Sehubungan dengan adanya program keluarga berencana yang digalakkan oleh pihak pemerintah maka salah satu perbuatan seorang dokter yang menyimpang serta melanggar ketentuan hukum yang merupakan suatu perbuatan kejahatan adalah melakukan tindakan pengguguran kandungan atau Abortus. Dan apabila dilihat pada kenyataan yang sebenarnya bahwa perbuatan abortus atau pengguguran kandungan yang sering dilakukan oleh dokter di Kotamadya Pontianak dengan alasan tindakan medis dikenal dengan istilah “Kuret”, dan perbuatan tersebut sering dilakukan terhadap ibu yang sedang hamil berumur kurang lebih 3 (tiga) sampai 4(empat) bulan, karena atas permintaan pasien bersama suaminya, meskipun dokter tersebut mengetahui bahwa janin yang ada di rahim ibu tidak dalam keadaan cacat.

Tindakan dokter yang sering melakukan perbuatan Kuret mengakibatkan bertambah banyaknya para ibu yang ingin menggugurkan kandungannya, disamping itu perbuatan dokter tersebut memberikan peluang kepada setiap wanita yang hamil karena masih muda atau hamil sebelum dilangsungkannya perkawinan kemudian ditinggalkan olehlaki-laki yang tidak bertanggung jawab sehingga seorang perempuan cenderung ingin melakukan pengguguran kandungannya.

Bagi seorang ibu yang melakukan Kuret hal ini adalah disebabkan oleh faktor tidak berhasilnya sistem Keluarga Berencana yang dipergunakannya sehingga mengakibatkan jarak kelahiran anak yang satu dengan yang satunya terlalu rapat, disamping itu keadaan perekonomian dalam keluarganya belum stabil. Kemudian terhadap wanita yang hamil tanpa suami atau ditinggalkan kekasihnya adalah disebabkan oleh faktor ingin menutupi rasa aibnya, sedangkan faktor yang menyebabkan ahli medis atau dokter sering melakukan Kuret karena merupakan tindakan medis.

Agar ketentuan hukum bisa berlaku secara konsekwen maka perlu adanya langkah-langkah serta upaya dari pihak pemerintah untuk menanggulangi serta menindak secara tegas para pelaku yang melakukan perbuatan pidana itu. Hal ini adalah sangat penting serta bermanfaat sekali dalam menegakkan kepentingan hukum di lingkungan masyarakat, sebab perbuatan pengguguran kandungan yang dilakukan oleh dokter dengan alasan medis tidak boleh dibiarkan berkembang karena tindakan yang dilakukannya itu jelas merupakan suatu perbuatan kejahatan yang diancam dengan hukum pidana.

Adapun langkah-langkah yang harus diambil oleh aparat pemerintah adalah sebagai berikut :

1. Tindakan Preventif

a. Memberikan penyuluhan kepada warga masyarakat terutama terhadap kaum ibu baik yang menggunakan alat KB maupun tidak menggunakan alat KB agar mereka tidak mempunyai niat untuk melakukan pengguguran kandungan.

b. Menghimbau serta membina mentalitas para dokter atau ahli medis agar dalam melaksanakan tugasnya tidak mengambil keputusan untuk melakukan pengguguran kandungan dengan alasan tindakan medis.

c. Melakukan pengawasan dimana tempat dokter atau ahli medis membuka prakteknya.

2. Tindakan Refresif

Mengambil tindakan secara tegas terhadap para pelaku tindak pidana, baik dokter maupun ibu serta para pihak yang terlibat dalam membantu pengguguran kandungan tersebut.

E. Hipotesa

Bertitik tolak dari uraian teoritis dan kerangka konsep tersebut diatas, maka penulis mengambil suatu hipotesa yang merupakan sebagai jawaban yang masih harus dibuktikan kebenarannya.

Adapun hipotesa dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

“ Bahwa penyalahgunaan pengguguran kandungan Yng dilakukan oleh dokter dengan alasan tindakan medis dapat dikualifisir melanggar pasal 348 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana “.

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode diskriptif analisis, yaitu dimaksudkan untuk memecahkan masalah berdasarkan fakta dan data yang terkumpul serta tampak sebagaimana adanya saat penelitian ini dilakukan.

1. Bentuk Penelitian

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu dengan mempelajari literatur-literatur, tulisan-tulisan, pendapat para Sarjana, Undang-Undang dan ketentuan hukum lainnya yang ada kaitannya dengan masalah penelitian ini.

b. Penelitian Lapangan (Field Research), yaitu dengan mengadakan penelitian secara langsung ke lapangan untuk memperoleh data serta mengamati masalah-masalah yang timbul sehubungan dengan obyek yang diteliti.

2. Tekhnik dan Alat Pengumpul Data

a. Tekhnik Komunikasi Langsung, dimana penulis mengadakan kontak secara langsung dengan sumber data, untuk memperoleh data yang diinginkan dilakukan wawancara dengan menggunakan alat pedoman wawancara.

b. Tekhnik Komunikasi Tidak Langsung, dimana penulis mengadakan kontak secara tidak langsung dengan sumber data. Sedangkan alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah angket yang terstruktur.

3. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah para dokter ahli kandungan, para pegawai rumah sakit bagian administrasi serta para ibu remaja putri atau perempuan yang pernah melakukan pengguguran kandungan di Rumah Sakit Dokter Sudarso Pontianak.

b. Sampel

Dalam penelitian ini penulis menggunakan tekhnik “Purposive Sampling” atau sampling bertujuan, sebanyak 17 orang ibu, remaja putri atau perempuan yang pernah menggugurkan kandungannya, sedangkan untuk dokter dan Praktek Dokter diberikan sabagai berikut :

- Dokter dan pegawai administrasi Rumah Sakit Dokter Sudarso Pontianak sebayak 4 (empat ) orang.

- Dokter Umum yang melakukan praktek di Kotamadia Pontianak sebanyak 4 (empat) orang.

BAB II

PERANAN DOKTER DALAM MELAKSANAKAN TUGASNYA

SEHUBUNGAN DENGAN PENGGUGURAN KANDUNGAN

A. Pengertian Perbuatan Pidana Serta Pertanggung Jawabannya

Sebagaimana diketahui bahwa hukum bertujuan untuk mencapai tertib hukum serta tertib masyarakat sehingga dapat terciptanya keadilan dalam masyarakat, oleh kerena itu setiap negara yang berdaulat harus membuat hukumnya sendiri guna menata setiap prilaku masyarakat dalam melakukan setiap tindakan, baik dalam hak maupun kewajibannya.

Dalam rangka menciptakan suasana damai dan aman serta tenteram bukanlah semata-mata tugas dari pemerintah atau penegak hukum saja, akan tetapi merupakan tanggung jawab bagi semua warga negara. Oleh karena itu hukum baik bersifat privat maupun bersifat publik harus ditaati dan kepada pelakunya yang tidak mentaatinya akan dikenakan suatu sanksi.

Ada dua jenis perbuatan yang melanggar suatu aturan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Satochid Kartanegara, SH yang membedakan antara kejahatan dan pelanggaran sebagai berikut :

1.

19

Rech Delicten adalah; perbuatan yang dianggap sebagai bertentangan dengan peri-keadilan, sungguhpun andai kata perbuatan ini tidak dilarang dengan undang-undang dan tidak diancam dengan hukuman, perbuatan itu oleh umum tetap dirasakan sebagai suatu yang bertentangan dengan peri keadilan atau patut dilarang, perbuatan yang demikian itu misalnya membunuh, menipu, mencuri dan sebagainya.

2. Wet Delicten adalah; justeru dilarang dengan undang-undang dan diancam dengan hukuman, perbuatan ini jika dilarang tidak dirasakan oleh umum sebagai perbuatan yang salah dan patut dilarang, perbuatan yang demikian misalnya, pelanggaran lalu lintas.[9]

Berdasarkan hal tersebut jelas bahwa kejahatan adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang bertentangan dengan rasa keadilan atau bertentangan dengan kepentingan umum dalam suatu masyarakat dan negara, sedangkan pelanggaran adalah merupakan suatu pelanggaran terhadap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang.

Sedangkan menurut Prof. Moeljatno, SH bahwa yang dimaksud dengan perbuatan pidana adalah :

Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan, dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan, suatu kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidna ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.[10]

Sehubungan dengan hal tersebut jelas bahwa perbuatan dokter yang melakukan penguguran kandungan terhadap seorang ibu dengan alasan tindakan medis, padahal diketahuinya janin dalam kandungan itu masih dalam keadaan sempurna dapat dikualifisir atau di katagorikan suatu perbuatan kejahatan, karena tindakannya telah menyimpang serta melanggar ketentuan hukum pidana.

Kemudian menurut Prof. W.A. Bonger, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kejahatan adalah : Perbuatan yang sangat anti sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan (hukuman atau tindakan ) .[11]

Jadi kejahatan adalah merupakan suatu tindakan atau perbuatan yang sangat tidak terpuji yang bertentangan dengan kesusilaan serta merugikan masyarakat, sehingga wajarlah jika negara mengadakan tuntutan serta menjatuhkan hukuman terhadap setiap pelakunya yakni sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya.

Oleh karena itu maka perbuatan seorang dokter yang melakukan pengguguran kandungan terhadap seorang ibu dengan alasan tindakan medis, meskipun atas permintaan dari pasien atau keluarganya tidak boleh dibiarkan berkembang, karena perbuatan tersebut menganggu keseimbangan serta sendi-sendi kehidupan di dalam lingkungan masyarakat.

Selanjutnya Soedjono D, SH mengatakan bahwa kejahatan itu adalah: Tindakan anti sosia lyang menimbulkan kerugian, ketidak patutan dalam masyarakat, sehingga dalam masyarakat timbul kegelisahan dan untuk menentramkan masyarakat, negara harus menjatuhkan pidana kepada penjahat.[12]

Dari pengertian tersebut diatas, maka perbuatan seseorang termasuk kejahatan atau bukan sesuai dengan apa yang dirumuskan dalam peraturan pidana didasarkan atas penafsiran masyarakat, berbeda menurut waktu dan tempat. Hal ini dapat kita lihat bahwa kepatutan dalam suatu daerah dan suatu waktu tertentu tidak sama dengan ketidak patutan pada daerah lain. Jadi pada perinsipnya kejahatan bersifat subyektif dan relatif bergantung pada waktu, tempat dan atau masyarakat yang bersangkutan. Demikian pula halnya kejahatan di Indonesia adalah ditentukan oleh norma-norma hukum pidana positif Indonesia yang dibentuk serta ditetapkan oleh masyarakat Indonesia sendiri.

Kemudian R. Soesilo membagi kejahatan dalam dua pengertian yaitu secara yuridis dan secara sosiologi :

1. Pengertian secara yuridis;

Yaitu merupakan tingkatan laku yang melanggar undang-undang hukum pidana, artinya tingkah laku atau perbuatan yang terlarang, semua warga negara harus tunduk kepada ketentuan itu dan barang siapa yang tidak patuh dapat dijatuhi hukuman.

2. Pengertian secara sosiologis;

Yaitu kejahatan yang meliputi segala tingkah laku manusia walaupun tidak atau belum ditentukan dalam undang-undang, toh pada hakekatnya oleh warga masyarakat dirasakan dan ditafsirkan sebagai tingkah laku atau perbuatan yang secara ekonomis maupun psikologis, menyerang atau merugikan masyarakat, dan melukai perasaan susila dalam kehidupan bersama.[13]

Kejahatan dalam pengertian secara yuridis merupakan suatu perbuatan yang melanggar semua ketentuan-ketentuan hukum pidana, dimana perbuatan tersebut adalah merugikan kepentingan masyarakat dan negara. Sedangkan pengertian kejahatan secara sosiologis lebih luas dari pengertian secara yuridis, karena pengertian secara sosiologis mencakup segala perbuatan atau tingkah laku setiap orang yang dapat dirasakan bahwa perbuatan itu jahat tanpa memperhatikan apakah perbuatan itu melanggar suatu ketentuan perundang-undangan pidana atau tidak, akan tetapi perbuatan itu dianggap telah melanggar suatu rasa keadilan dalam masyarakat.

Selanjutnya Prof. Mulyadno, SH menyatakan bahwa kejahatan adalah : Perbuatan yang aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana ( kepada barang siapa yang melanggar larangan tersebut ).[14]

Bertitik tolak dengan pengertian tersebut jelas bahwa kejahatan adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan apabila seseorang melakukan pelanggaran terhadap larangan tersebut, maka memberikan pidana sesuai dengan perbuatan dan ancaman hukuman yang dicantumkan dalam perundang-undangan hukum pidana.

Thorsten Sellin mengatakan bahwa kejahatan adalah pelanggaran norma-norma kelakuan ( cunduct norms ) yang tidak harus terkandung dalam hukum.[15]

Jadi kejahatan itu jelas merupakan suatu tindakan seseorang yang melanggar norma-norma kehidupan dalam masyarakat, yang merugikan serta meresahkan masyarakat dan oleh karena itu wajarlah jika negara mengambil tindakan terhadap para pelaku tindakan kejahatan tersebut. Kemudian untuk mencapai suatu suasana ketertiban dalam lingkungan masyarakat bukanlah semata-mata tugas dari aparat penegak hukum saja, akan tetapi hal tersebut merupakan tanggung jawab bagi seluruh warga masyarakat.

Selanjutnya Radeliffe-Brown merumuskan bahwa kejahatan adalah sebagai suatu pelanggaran tata cara ( usage ) yang menimbulkan dilakukannya sanksi.[16]

Sesuai dengan pendapat tersebut dapat diambil suatu pengertian bahwa kejahatan adalah perbuatan pidana yang melanggar terhadap tata cara berprilaku dalam masyarakat, sedangkan sebagai akibat dari perbuatan kejahatan itu akan menimbulkan suatu kepincangan-kepincangan dalam masyarakat dan untuk mengatasi segala kepincangan yang ada sebagai akibat dari perbuatan kejahatan, diperlukan suatu sanksi-sanksi hukum pidana guna menindak para pelakunya.

Kemudian Dr. J.E. Sahetapy, SH memberikan suatu pengertian mengenai kejahatan dan penjahat sebagai berikut :

Bahwa kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu pengertian dan penamaan yang relatif mengandung variabelitas dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku ( baik aktif maupun pasif ), yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang atau waktu.[17]

Berdasarkan dengan pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa kejahatan adalah suatu anggapan dari pada suatu masyarakat dalam suatu waktu dan tempat tertentu yang mengkreteriakan bahwa perbuatan yang anti sosial atau bertentangan dengan perasaan hukum dalam masyarakat tersebutlah yang disebut sebagai suatu perbuatan jahat. Karena adanya penilaian yang demikian itu, maka seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang anti sosial adalah disebut sebagai penjahat, sebab kejahatan dengan si penjahat tersebut tidak dapat dipisahkan asatu sama lain, dan yang mendefinisikan seseorang yang melakukan sesuatu kejahatan sebagai penjahat adalah mereka yang tidak mengkualifisirkan dirinya sebagai penjahat.

Begitu juga halnya di Indonesia bahwa kejahatan itu adalah setiap perbuatan dan kelakuan yang dilarang oleh hukum publik Indonesia, sebagaimana dikemukakan Dr. Soedjono, SH, menyebutkan :

Dengan patokan hukum pidana, kejahatan dengan pelakunya, relatif dapat diketahui, yaitu mereka atau barang siapa yang kena rumusan kaedah hukum pidana, dalam arti memnuhi unsur-unsur delik, ia dianggap melakukan perbuatan yang dapat dihukum ( di Indonesia berarti menurut rumusan KUHP ). Kemudian masyarakat, tepatnya orang awam akan menunjukan mereka yang dijatuhi putusan bersalah dan harus dihukum adalah “penjahat” yang berbuat kejahatan.[18]

Berdasarkan uraian pengertian tersebut di atas jelas bahwa penjahat hanyalah suatu penamaan dari pada masyarakat, karena dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sendiri tidak dijumpai istilah penjahat, demikian juga halnya dengan pengertian kejahatan, hanya saja disebutkan adalah rumusan-rumusan dari pada perbuatan jahat. Jadi perkataan kejahatan menurut pengertian tata bahasa adalah perbuatan atau tindakan yang jahat seperti pembunuhan, pencurian, penipuan, dan lain-lain sebagainya.

Setiap orang yang melakukan perbuatan kejahatan harus mempertanggung jawabkan sesuai dengan perbuatan atau tindakan yang telah dilakukannya itu, sehubungan dengan hal tersebut dalam pasal 55 KUHP menyebutkan :

(1) Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu pembuat (dader) perbuatan pidana :

1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan turut serta melakukan perbuatan.

2. Mereka yang dengan memberikan atau sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberikan kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

(2) Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, serta akibat-akibatnya.[19]

Ketentuan pasal inisebagai dasar bagi aparat pemerintah yang berwenang untuk mengetahui atau menentukan sejauh mana pelaku tindak pidana ikut terlibat dalam suatu peristiwa yang telah terjadi di lingkungan masyarakat, dengan telah diketahuinya maka setiap pelaku yang terlibat dalam perbuatan kejahatan tersebut harus mempertanggung jawabkan perbuatannya sesuai dengan sanksi-sanksi yang telah ditentukan di dalam Kitab Undng-Undang Hukum Pidana yang berlaku.

B. Tindakan Dokter Dalam Hubungannya Dengan Perbuatan Pidana

Seorang Dokter dalam melakukan profesinya tidak terlepas juga dari suatu waktu melakukan kesalahan praktek kedokteran itu, yang biasa disebut ”malpractise” ( medical malpractise ), dan perbuatan kesalahan yang menyebabkan terjadinya suatu peristiwa pidana tehadap seseorang pasien yang dirawatnya harus dipertanggung jawabkan sesuai dengan kesalahan atau perbuatan yang dilakukannya.

Mengenai tanggung jawab yuridis seorng dokter menurut Jerry Zaslow adalah seorang dokter harus bertanggung jawab terhadap cedera pasien apabila perawatan yang telah dilakukan dokter yang bersangkutan tidak sesuai dengan kreteria rekan sejawatnya dalam praktek, atau dokter itu gagal berperilaku secara wajar terhadap situasi kasus bersangkutan.[20]

Dari pengertian tersebut jelas bahwa seorang pasien yang dirawat sampai cedera, maka dokter itu jelas mempunyai suatu tanggung jawab atas kesalahannya, sebab dalam hal melakukan prakteknya dokter tersebut kurang berhati-hati di dalam melakukan suatu tindakan, sehingga ia tidak memperhitungkan mengenai akibat yang timbul dari tindakannya itu.

Kesalahan seorang dokter di dalam melakukan prakteknya adalah sangat berhubungan sekali dengan hukum pidana yang berlaku di Indonesia, karena segala apapun tindakan dokter yang menimbulkan suatu perbuatan pidana harus dipertanggung jawabkannya.

Malpraktek dalam bahasa inggris disebut “malpractise” yang berarti “wrong doing” atau “neglect of duty”, jika pengertian ini diterapkan di bidang kedokteran maka dapat dikatakan seorang dokter melakukan malpraktek jikalau melakukan suatu tindakan medis yang

salah (wrong doing) atau ia tidak atau tidak cukup mengurus pengobatan/perawatan pasien (neglect the patient by giving no or not enough care the patient).[21]

Dengan uraian pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa seorang dokter melakukan malpraktek yaitu apabila dokter itu dalam merawat seorang pasien melakukan tindakan medis yang salah atau kurang cukup mengurus pengobatan serta perawatan, sehingga mengakibatkan timbulnya suatu peristiwa pidana atau menyebabkan kurang terawatnya seorang pasien yang sangat bantuan perawatan.

Menurut Coughlin’s Dictionary of Law, menyebutkan bahwa malpractice adalah :

Perilaku profesional yang tidak baik dari seorang yang menjalankan profesi, seperti seorang dokter, insinyur, ahli akuntan, ahli hukum, dokter gigi, atau dokter hewan, malpraktek dapat disebabkan karena sikap/perilaku yang tak acuh, lalai atau kurang keterampilan atau ketelitian dalam menjalankan kewajiban profesional, melakukan perbuatan atau salah dengan sengaja, atau menjalankan praktek yang tidak ilegal atau tidak etis.[22]

Pengertian tersebut di atas mengandung suatu makna bahwa malpraktek dokter adalah suatu perbuatan yang salah atau menyimpang profesinya, yang disebabkan kurang berhati-hati serta kurang terampilnya seorang dokter dalam melakukan tugasnya, sehingga menimbulkan suatu peristiwa pidana atau mengakibatkan cacatnya seorang pasien yang dirawatnya.

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa perbuatan seorang dokter yang melakukan pengguguran kandungan atas permintaan pasiennya, yang dilakukannya dengan alasan tindakan medis jelas merupakan sebagai suatu kesalahan yang dapat dikualifisir sebagai perbuatan pidana, karena telah menyimpang dari profesi sebagaimana mestinya.

Jika dilihat dari kenyataannya pengguguran kandungan pada saat sekarang ini sering dilakukan oleh dokter terhadap seorang ibu yang hamil berumur 3 (tiga) sampai 4 (empat) bulan dengan alasan tindakan medis, padahal dokter yang melakukan tindakan tersebut mengetahui bahwa bayi yang berada di dalam kandungan sang ibu tersebut masih dalam keadaan yang sempurna atau tidak mengalami cacat.

Sehubungan dengan hal tersebut Simons dalam Leerboek v.h Ned. Strafrecht, menyebutkan pengguguran adalah menimbulkan suatu kelahiran yang sebelum waktunya, yang berakibat apa yang disebut pertus praematurus.[23]

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pengguguran kandungan yang dilakukan oleh seorang dokter atas permintaan pasien, dan dilaksanakannya dengan alasan tindakan medis jelas merupakan yang memaksa keluarnya janin dalam kandungan seorang ibu hamil, dan perbuatan dokter yang demikian itu menyimpang dari kewenangannya sebagaimana layak profesinya seorang dokter.

Sejalan dengan itu dalam Kamus Bahasa Indonesia mengartikan sebagai berikut :

Aborsi n pengguguran; kriminalis aborsi yang dilakukan dengan sengaja karena suatu alasan dan bertentangan dengan undang-undang yang berlaku; legal pengguguran kandungan dengan sepengetahuan pihak yang berwenang. Sedangkan abortus adalah terpencarnya embrio yang tidak mungkin lagi hidup (sebelum habis bulan keempat dari kehamilan); keguguran; keadaan terhentinya pertumbuhan yang normal, gugurnya janin. Dan provokatus; keguguran karena sengaja.[24]

Dari pengertian tersebut jelas bahwa pengguguran kandungan yang dilakukan oleh dokter atas permintaan pasiennya jelas merupakan perbuatan kriminalitas, karena tindakan yang demikian itu adalah sengaja dilakukan sehingga menyebabkan keluarnya janin dalam kandungan seorang ibu hamil.

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa seorang dokter dalam menjalankan tugasnya tidak terlepas dengan ketentuan hukum pidana, sebab dalam melakukan malpraktek seorang dokter dapat menyimpang dari kewenangannya sehingga menimbulkan suatu peristiwa pidana, yang mengganggu keseimbangan kepentingan umum serta meresahkan kehidupan dalam lingkungan masyarakat.


C. Akibat Yang Timbul Terhadap Dokter Yang Melakukan Pengguguran Kandungan

Perbuatan seorang dokter yang melakukan pengguguran kandungan krena atas permintaan pasiennya, dan dilakukan dengan alsan tindakan medis akan menimbulkan suatu akibat hukum berupa sanksi pidana yang dijatuhkan oleh negara terhadap mereka yang terlibat dalam melakukan pengguguran kandungan tersebut.

Mengenai pengguguran kandungan sebagaimana yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada pasal 346, menentukan sebagai berikut : Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya, atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.[25]

Dari pengertian pasal tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa setiap orang yang hamil baik yang perkawinan syah maupun hamil di luar perkawinan dilarang melakukan pengguguran kandungan yaitu baik wanita itu menyuruh orang lain maupun menggunakan obat, sehingga menyebabkan gugurnya atau matinya bayi dalam kandungannya.

Apabila wanita mengadakan suatu upaya sehingga bayi yang berada dalam kandungannya itu menjadi gugur karena dilakukan secara sengaja, maka wanita tersebut dikenakan sanksi hukum pidana, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa seorang ibu yang menyuruh seorang dokter untuk melakukan pengguguran kandungan, perbuatan yang demikian itu dapat dikualifisir sebagai perbuatan kejahatan yang melanggar ketentuan pasal 346 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan :

(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana paling lama dua belas tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan penjara paling lama lima belas tahun.[26]

Ketentuan pasal tersebut adalah bertujuan untuk menjaga agar setiap orang tidak mempunyai suatu niat ingin menggugurkan kandungan seorang ibu hamil tanpa sepengetahuan atau persetujuannya, sebab perbuatan pengguguran kandungan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma hukum serta norma agama, yang mengakibatkan kepincangan serta meresahkan kehidupan warga masyarakat disekitarnya.

Selanjutnya pasal 348 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menentukan sebagai berikut :

(1) Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya seorang perempuan dengan izin perempuan itu dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan.

(2) Jika karena perbuatan itu perempuan itu mati, dia dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.[27]

Bertitik tolak dengan pengertian tersebut diatas dapat dikatakan bahwa perbuatan seorang dokter yang melakukan pengguguran kandungan atas permintaan seorang pasiennya jelas dapat dikualifisir sebagai perbuatan pidana, karena tindakan itu adalah dilakukan dengan sengaja dan bukan merupakan sebagai tindakan medis, sebab dokter yang melakukan perbuatan tersebut telah mengetahui bahwa janin yang berada dalam kandungan masih dalam keadaan sempurna atau tidak dalam keadaan cacat.

Kemudian pasal 349 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, menentukan sebagai berikut :

Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347, dan 348 maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.[28]

Dari pengertian pasal tersebut di atas dapat diketahui bahwa perbuatan seorang dokter yang mengakibatkan timbulnya suatu peristiwa pidana, yakni melakukan pengguguran kandungan seorang ibu hamil yang janinnya berumur kurang lebih 3 sampai 4 bulan dengan alasan tindakan medis dapat dikualifisir sebagai perbuatan kejahatan, dan terhadap dokter yang membantu melakukan pengguguran kandungan itu hukumannya ditambah sepertiga dari ancaman hukuman pokoknya.

D. Faktor Yang menyebabkan Pengguguran Kandungan

Perbuatan kejahatan adalah merupakan suatu gejala sosial yang timbul dan berkembang dalam masyarakat, yang mengganggu ketertiban serta merugikan kepentingan warga masyarakat baik secara material maupun moril, dan seringnya dilakukannya perbuatan kejahatan adalah disebabkan bermacam-macam faktor yang dapat menimbulkan niat seseorang untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma hukum yang berlaku dalam lingkungan masyarakat itu sendiri.

Sejalan dengan hal tersebut D. Soedjono, SH mengemukakan teori lingkungan yang merupakan sebagai penyebab terjadinya kejahatan sebagai berikut :

a. Lingkungan yang memberikan kesempatan akan timbulnya kejahatan.

b. Lingkungan pergaulan yang memberikan kesempatan contoh/tauladan.

c. Lingkungan ekonomi (kemiskinan).

d. Lingkungan pergaulan yang berbeda-beda (differential oscration).[29]

Berdasarkan pendapat tersebut di atas jelas bahwa faktor lingkungan adalah sangat mendukung sekali terhadap perbuatan pengguguran kandungan, dimana pada saat sekarang ini ada terdapat dokter yang sering melakukan praktek dalam membantu pasiennya yang ingin melakukan pengguguran kandungan.

Sedangkan dilihat dari lingkungan pergaulan bahwa ibu dalam perkawinan yang sah dan gagal melaksanakan penggunaan alat KB, kemudian mohon bantuan dokter untuk melakukan pengguguran kandungan akan memberikan suatu contoh yang tidak baik, terutama terhadap wanita yang telah hamil diluar hubungan perkawinan yang sah pasti akan mencontoh hal itu.

Kemudian kalau dilihat dari lingkungan ekonomi (kemiskinan), bahwa faktor yang demikian itu adalah merupakan sebagai pendukung bagi keluarga yang kurang mampu perekonomiannya sehingga untuk mengurangi beban kehidupan, mengingat anaknya sudah banyak, maka ibu yang hamil cenderung ingin melakukan pengguguran kandungan.

Menurut Bambang Poernomo, SH bahwa faktor-faktor yang menyebabkan dilakukan abortus dapat diperinci atas dasar kepentingan :

a. Abortus provacatus yang dibuat untuk maksud kesehatan dan menyelamatkan wanita yang hamil.

b. Faktor-faktor lain berasal dari dalam diri wanita itu yang antara lain tidak suka anak agar hidup dengan bebas atau untuk menjaga keelokan tubuh, atau karena hubungan seks gelap menimbulkan rasa malu mempunyai kandungan.

c. Faktor yang berasal dari luar wanita itu, antara lain karena keadaan sosial atau tekanan ekonomi.[30]

Berdasarkan pengertian tersebut di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa perbuatan abortus dilakukan oleh seorang dokter harus dipandang dari sudut kepentingan, yakni apabila abortus provacatus dilaksanakan oleh dokter karena untuk kesehatan guna menyelamatkan kehidupan ibu yang hamil, hal ini jelas merupakan tindakan medis yang boleh dilakukan oleh dokter.

Sedangkan apabila faktor lain yang terdapat dari dalam diri wanita yang tidak suka punya anak atau untuk menjaga kecantikan tubuhnya atau hubungan seks gelap karena rasa malu mempunyai kandungan, atau disebabkan oleh faktor yang berasal dari luar wanita, antara lain karena keadaan ekonomi yang kurang mampu, bahwa perbuatan pengguguran kandungan yang demikian itu menyimpang dari ketentuan hukum.

Menurut Gabril Tardev ( 1843 - 1904 ) di Perancis mengemukakan teori sebagai berikut :

Masyarakat dapat diterangkan dalam arti pikiran yang saling pengaruh mempengaruhi melalui dorongan untuk meniru, dan dalam tingkah laku kriminal ini ia tetap terdapat bahwa kejahatan meluas dari seseorang kepada orang lain melalui proses tiru meniru.[31]

Sedangkan menurut Prof. Dr. W.M.E. Noach memberikan tiga faktor yang dapat menimbulkan sebab musabab kejahatan, yakni sebagai berikut :

1. Pendapat, bahwa kejahatan itu adalah akibat dari pada sifat-sifat bakat tertentu dari pelaku kejahatan.

2. Pendapat, bahwa kejahatan itu disebabkan bukan dari sifat-sifat bakat yang terletak dalam diri pelaku kejahatan, akan tetapi akibat dari keadaan luar yang mampu mempengaruhi diri penjahat.

3. Pendapat, bahwa kejahatan itu disebabkan baik oleh sifat pembawaan dalam diri penjahat, maupun keadaan dari luar yang mempengaruhi diri penjahat.[32]

Dari pengertian itu dapat diketahui bahwa perbuatan kejahatan itu timbul selain disebabkan oleh sifat bawaan juga faktor yang lebih dominan adalah pengaruh dari luar secara langsung maupun secara tidak langsung, sehingga bentuk suatu sifat jahat kemudian cenderung berperilaku jahat serta selanjutnya melakukan perbuatan kejahatan.

Akan tetapi jika dilihat dari kenyataannya bahwa pengguguran kandungan yang sering dilakukan oleh ibu yang hamil adalah didorong oleh dua faktor yaitu faktor yang terdapat dalam diri pribadi wanita dan faktor yang terdapat diluar pribadi wanita tersebut. Dimana faktor yang terdapat dalam diri pribadi wanita itu adalah disebabkan karena terdorong oleh keinginan untuk tidak mempunyai anak atau keinginan agar menjaga kecantikan badannya, disamping itu juga terdorong oleh rasa malu karena kehamilannya merupakan suatu hasil hubungan seks gelap, sedang faktor yang terdapat diluar diri pribadi wanita itu adalah disebabkan karena adanya pengaruh keadaan sosial atau tekanan ekonomi.

Sehubungan dengan hal tersebut Stephen Hurwitz mengemukakan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan, sebagai berikut :

Kondisi-kondisi ekonomi buruk pada golongan rakyat yang status sosialnya dan ekonominya rendah dan yang biasanya mempunyai banyak anak. Ditambah lagi dengan kemungkinan adanya faktor-faktor lain korelasi antara besarnya keluarga dan kekurangan mental orang tua itu ( orang tua ) kurang pengawasan terhadap anak, dan seterusnya.[33]

Keadaan ekonomi keluarga yang kurang menguntungkan serta anggota keluarga yang cukup besar yaitu apabila seorang atau para orang tua tidak melakukan pengawasan yang baik terhadap anaknya dan keluarganya, maka tidak akan berarti lebih baik dari pada keluarga lainnya.

Oleh karena itu hubungan keadaan ekonomi keluarga dengan pengawasan terhadap anaknya harus seimbang tanpa membanding-bandingkan dengan keluarga yang lainnya.


Dilihat dari kenyataannya bahwa kondisi ekonominya memburuk atau kurang menguntungkan serta mempunyai banyak anak yang merupakan sebagai faktor penyebab bagi seorang ibu berkeinginan melakukan pengguguran kandungan, disamping itu kurang berhasilnya alat perlengkapan KB yang dipergunakan dalam mengatasi kehamilannya, sehingga kegagalan itu menyebabkan wanita yang hamil berupaya melakukan pengguguran kandungan tersebut.

E. Upaya Penanggulangannya

Bertitik tolak dengan uraian yang telah dikemukakan pada awal mulanya, bahwa langkah-langkah atau upaya yang harus diambil oleh aparat pemerintah yang berwenang dalam menanggulangi perbuatan pengguguran kandungan adalah sebagai berikut :

1. Tindakan Preventif

a. Memberikan penyuluhan kepada warga masyarakat terutama terhadap kaum ibu baik yang menggunakan alat KB maupun tidak menggunakan alat KB agar mereka tidak mempunyai niat untuk melakukan pengguguran kandungan.

b. Menghimbau serta membina mentalitas para dokter atau ahli medis agar dalam melakukan tugasnya tidak mengambil keputusan untuk melakukan pengguguran kandungan dengan alasan tindakan medis.

c. Melakukan pengawasan dimana tempat dokter atau ahli medis membuka prakteknya.

2. Tindakan Represif

Mengambil tindakan secara tegas terhadap para pelaku tindak pidana baik dokter maupun ibu serta pihak yang terlibat dalam membantu pengguguran kandungan tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut dalam Hygiene Kriminil menyebutkan bahwa : Mencegah kejahatan adalah lebih baik dari pada mencoba mendidik penjahat menjadi orang baik kembali, “lebih baik” disini juga berarti : lebih mudah, lebih mencapai tujuannya, lebih murah. [34]

Bertitik tolak dengan pengertian itu jelas bahwa upaya pencegahan merupakan suatu langkah yang paling tepat sekali dalam melakukan penanggulangan terhadap perbuatan pengguguran kandungan atas permintaan pasien, yang dilakukan oleh dokter dengan alasan tindakan medis.

Kemudian dalam seminar Kriminologi ke-I Semarang, tentang penanggulangan kejahatan menegaskan :

Dengan dasar-dasar kepada Undang-Undang Dasar 1945, Pancasila, Sapta Marga, Catur Prasetya, Dokrin Hankamnas, Dokrin Induk kepolisian RI, Tata Tenteram Raharja serta lain-lain Doktrin Teknis Kepolisian ditegaskan bahwasanya usaha dibidang pencegahan lebih diutamakan dari usaha pemberantasannya. [35]


Melaksanakan suatu upaya pencegahan terhadap timbulnya suatu kejahatan dalam lingkungan masyarakat merupakan tindakan yang sangat baik sekali, oleh karena itu untuk kejahatan pengguguran kandungan atas permintaan pasiennya, dan dilakukan oleh dokter dengan alasan medis harus dilakukan pencegahannya, sebab perbuatan yang demikian itu adalah bertentangan dengan ketentuan hukum karena meresahkan kehidupan warga masyarakat.

Kemudian Jenderal Polisi, Soetjipto Joedodiharja dalam Simposium Hak-Hak Azasi Manusia tanggal 15 Juni 1967 mengatakan sebagai berikut : Tata pikir dan operasi yang berkepribadian sendiri antara lain ditandai dengan tindakan-tindakan yang mengutamakan “prevention” dari prevention.[36]

Sesuai dengan pengertian tersebut jelas bahwa dalam rangka penanggulangan terhadap kejahatan, maka langkah yang lebih efektif adalah melakukan pencegahan dari pada pemberantasan. Akan tetapi terhadap kejahatan pengguguran kandungan yang dilakukan dengan sengaja oleh Dokter karena atas permintaan pasiennya, bahwa aparat pemerintah yang berwenang harus melakukan pencegahan dan pemberantasan serta mengambil tindakan-tindakan secara tegas terhadap pelakunya, maupun mengawasi secara efektif dimana tempat dokter membuka prakteknya.



BAB III

PENGOLAHAN DATA

A. Analisa Data

Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan metode analisis deskriptif yaitu dimaksudkan untuk memecahkan masalah berdasarkan fakta dan data yang terkumpul serta tampak sebagaimana adanya saat penelitian ini dilakukan. Kemudian untuk mendapatkan dan informasi menggunakan teknik komunikasi langsung melalui wawancara, dan teknik komunikasi tidak langsung yakni melalui angket yang disebarkan dan diisi sendiri oleh responden.

Sedangkan sampelnya adalah menggunakan teknik “Purposive Sampling” atau sampel bertujuan yakni sebanyak 17 orang ibu yang pernah menggugurkan kandungannya, adalah sebagai berikut :

- Dokter dan pegawai administrasi Rumah Sakit Umum Dokter Soedarso Pontianak sebanyak 4 (empat) orang.

- Dokter Umum yang membuka praktek di Kotamadia Pontianak sebanyak 4 (empat ) orang.

43

Untuk mengungkapkan apakah perbuatan dokter yang melakukan pengguguran kandungan atas permintaan pasiennya dapat dikualifisir sebagai perbuatan kejahatan, dapat dilihat dari uraian yang didasarkan atas data-data pada tabel-tabel sebagai berikut :

TABEL I

JUMLAH PASIEN YANG MELAKUKAN PENGGUGURAN

KANDUNGAN PER -TRIWULAN

Th.

B u l

a n

Jlh

Jan/Peb/mar

Apr/Mei/Jun

Jul/Ags/Sep

Okt/Nop/Des

1992

89

88

82

57

316

1993

62

72

61

69

264

1994

78

62

80

83

303

Sumber : Data di Rumah Sakit Umum Soedarso Pontianak.

Berdasarkan dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa waita yang melakukan pengguguran kandungan di rumah sakit umum Soedarso Pontianak pada tahun 1992 adalah berjumlah 316 orang, sedang apabila dilihat pertriwulannya maka angka pengguguran kandungan menunjukan sebagai berikut : Bulan Januari, Pebruari, Maret sebanyak 89 orang; Aparil, Mei Juni sebanyak 88 orang; Juli, Agustus, September sebanyak 82 orang; Oktober, Nopember, Desember sebanyak 57 orang.

Pada tahun 1993 wanita yang melakukan pengguguran berjumlah 264 orang, yakni bulan Januari, Pebruari, Maret sebanyak 62 orang; Aparil, Mei, Juni sebanyak 72 orang; Juli, Agustus, September sebanyak 61 orang; Oktober, Nopember, Desember sebanyak 69 orang.

Kemudian tahun 1994 wanita yang melakukan pengguguran kandungan berjumlah 303 orang, sedangkan secara triwulan dapat dilihat yakni bulan Januari, Pebruari, Maret sebanyak 78 orang; Aparil, Mei, Juni sebanyak 62 orang; Juli, Agustus, September sebanyak 80 orang; Oktober, Nopember, Desember sebanyak 83 orang.

Sesuai dengan uraian tersebut di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa jumlah kematian bayi yang disebabkan karena pengguguran kandungan pada tahun 1992 adalah sebanyak 316 orang, tahun 1993 adalah sebanyak 264 orang, sedang tahun 1994 adalah sebanyak 303 orang. Oleh karena itu untuk mengungkapkan perbuatan kejahatan tersebut secara tuntas, maka harus dilakukan penyelidikan secara intensif oleh aparat yang berwenang, agar para pelakunya dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.


TABEL 2

TINGKAT PENDIDIKAN

No.

Alternatif

Jumlah

Prosentase

1

Tidak Sekolah

1

5,88

2

SD Tamat

3

17,65

3

SLTP Tamat

5

29,41

4

SLTA Tamat

8

47,06

5

Perguruan Tinggi

-

-

n = 17

17

100,00

Sumber : Data Lapangan Yang Diolah.

Dari sejumlah 17 orang wanita pelaku pengguguran kandungan yang dijadikan sebagai responden, dimana sebanyak 1 orang ( 5,88 %) responden mengakui tidak sekolah, 3 orang (17,65 %) responden mengakui SD Tamat, 5 orang (29,41 % ) responden mengakui SLTP tamat, 8 orang (47,06 % ) responden mengakui SLTA tamat, sedangkan Perguruan Tinggi tidak ada.

Sesuai dengan uraian tabel tersebut di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa wanita yang melakukan pengguguran kandungan pada umumnya adalah mereka yang telah berpendidikan, dan perbuatan yang demikian itu tidak boleh dibiarkan berkembang karena melanggar ketentuan hukum di dalam lingkungan masyarakat.

TABEL 3

PENYEBAB PENGGUGURAN KANDUNGAN DILAKUKAN

No.

Alternatif

Jumlah

Prosentase

1

Karena ada pendarahan

6

35,29

2

Tidak ada pendarahan

11

64,71

n = 17

17

100,00

Sumber : Data Lapangan Yang Dioleh.

Sehubungan dengan hal tersebut bahwa dari sejumlah 17 orang wanita pelaku pengguguran kandungan yang dijadikan sebagai responden, dimana sebanyak 6 orang mengakui pengguguran kandungan itu dilakukan karena adanya pendarahan pada awal mulanya, sedangkan 11 orang mengakui pengguguran kandungan itu dilakukan tidak ada mengalami pendarahan.

Pengguguran kandungan yang dilakukan bukan disebabkan adanya pendarahan terlebih dahulu, akan tetapi pada umumnya dilakukan terhadap janin dalam kandungan yang masih sempurna, oleh karena itu pelaku yang terlibat melaksanakan pengguguran kandungan dapat dipertanggung jawabkan menurut ketentuan hukum pidana yang sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya.


TABEL 4

STATUS YANG MELAKUKAN PENGGUGURAN KANDUNGAN

No.

Alternatif

Jumlah

Prosentase

1

Sudah Kawin

10

52,82

2

Belum Kawin

7

41,18

n = 17

17

100,00

Sumber : Data Lapangan Yang Diolah.

Sesuai dengan uraian tabel tersebut di atas bahwa dari sejumlah 17 orang wanita pelaku pengguguran kandungan yang dijadikan sebagai responden, dimana sebanyak 10 orang (58,82%) responden mengakui berstatus sudah kawin, sedangkan 7 orang (41,18%) responden mengakui belum kawin.

Oleh karena itu dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pengguguran kandungan bukan hanya dilakukan oleh wanita yang berstatus sudah kawin, melainkan wanita yang berstatus belum kawin karena hamil diluar hubungan perkawinan yang sah cenderung melakukan pengguguran kandungan. Agar tidak bertambahnya korban kematian bayi yang disebabkan karena kandungannya sengaja digugurkan, maka perlu adanya upaya penindakan tegas dari aparat pemerintah yang berwenang untuk memberikan sanksi hukum terhadap mereka yang terlibat dalam perbuatan kejahatan tersebut.

TABEL 5

UMUR KANDUNGAN YANG DIGUGURKAN

No.

Alternatif

Jumlah

Prosentase

1

2 - 3 bulan

5

29,41

2

3 - 4 bulan

11

64,71

3

5 - 6 bulan

1

5,88

n = 17

17

100,00

Sumber : Data Lapangan Yang Diolah.

Dari sejumlah 17 orang pelaku pengguguran kandungan yang dijadikan sebagai responden, dimana sebanyak 5 orang ( 29,41% ) responden mengakui kandungan yang digugurkan berumur 2 – 3 bulan, 11 orang ( 64,71% ) responden mengakui telah berumur 3 – 4 bulan, 1 orang ( 5,88% ) responden mengakui telah berumur 5 - 6 bulan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa kandungan yang sering digugurkan oleh para pelaku perbuatan kejahatan pada umumnya adalah berumur 2 - 4 bulan, sedangkan kandungan yang berumur demikian itu masih berupa janin dan belum berbentuk seperti bayi.

TABEL 6

INISIATIF PENGGUGURAN KANDUNGAN

DILAKUKAN OLEH

No.

Alternatif

Jumlah

Prosentase

1

Atas kemauan sendiri

7

41,18

2

Atas anjuran teman

2

11,76

3

Kesepakatan dengan suami

8

47,06

n = 17

17

100,00

Sumber : Data Lapangan Yang Diolah.

Dengan sejumlah 17 orang wanita pelaku pengguguran kandungan yang dijadikan sebagai responden yaitu sebanyak 7 orang ( 41,18% ) responden mengakui pengguguran kandungan itu dilakukan atas kemauan sendiri, 2 orang (11,76% ) responden mengakui pengguguran atas anjuran teman, sedangkan sebanyak 8 orang (47,06% ) responden mengakui pengguguran kandungan dilakukan atas kesepakatan dengan suami.

Dilihat dari uraian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa perbuatan pengguguran kandungan yang telah dilakukan itu jelas merupakan perbuatan yang direncanakan, karena janin dalam kandungan tersebut masih sempurna atau tidak cacat. Oleh karena itu setiap orang yang terlibat dalam membantu terlaksananya peristiwa pengguguran kandungan itu harus mempertanggung jawabkan perbuatannya sesuai dengan ketentuan hukum pidana.

TABEL 7

ALASAN MELAKUKAN TINDAKAN PENGGUGURAN KANDUNGAN

No.

Alternatif

Jumlah

Prosentase

1

Tekanan ekonomi

3

17,65

2

Banyak anak

2

11,76

3

Tidak berhasilnya KB

5

29,41

4

Tidak ada suami

7

41,18

n = 17

17

100,00

Sumber : Data Lapangan Yang Diolah.

Dari sejumlah 17 wanita pelaku pengguguran kandungan yang dijadikan sebagai responden, yaitu sebanyak 3 orang ( 17,65% ) responden mengakui alasan melakukan tindakan pengguguran karena tekanan ekonomi, 2 orang ( 11,76% ) responden mengakui karena banyak anak, kemudian 5 orang ( 29,41% ) responden mengakui karena tidak berhasilnya penggunaan alat KB, sedangkan sebanyak 7 orang ( 41,18% ) responden mengakui karena tidak ada suami.

Jadi hal tersebut di atas jelas merupakan sebagai suatu faktor pendorong terlaksananya pengguguran kandungan, dan apabila dihubungkan dengan ketentuan hkum maka faktor itu bukan merupakan alasan untuk melakukan pengguguran kandungan sehingga pelakunya terhindar dari sanksi hukum pidana.

Dilihat dari uraian di atas maka para pelaku yang turut serta mmembantu sehingga terlaksananya proses pengguguran kandungan, yang dilakukan oleh dokter dengan alasan non medis dapat dikualifisir sebagai perbuatan kejahatan yakni melanggar ketentuan pasal 348 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.


TABEL 8

DOKTER MENOLAK UNTUK MELAKUKAN

PENGGUGURAN KANDUNGAN

No.

Aternatif

Jumlah

Prosentase

1

Pada awalnya menolak

9

52,94

2

Tidak menolak

8

47,06

n = 17

17

100,00

Sumber : Data Lapangan Yang Diolah.

Dari sejumlah 17 orang wanita pelaku pengguguran kandungan bahwa sebanyak 9 orang ( 52,94% ) responden menyatakan pada awalnya menolak untuk melakukan pengguguran kandungan, sedangkan sebanyak 8 orang (47,94%) responden menyatakan tidak menolak untuk melakukan pengguguran kandungan.

Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan oleh setiap responden dapat diketahui bahwa tidak semua dokter dalam melaksanakan tugas profesinya mau membantu melakukan pengguguran kandungan yang merupakan alasan non-medis.

Sedangkan perbuatan dokter yang membantu melakukan pengguguran kandungan yang diketahuinya bahwa bayi yang berad dalam kandungan itu masih sempurna atau tidak cacat, jelas telah menyimpang dari tugasnya serta bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.

TABEL 9

ADA/TIDAK DOKTER MEMBERIKAN SARAN AGAR

TIDAK MELAKUKAN PENGGUGURAN KANDUNGAN

No.

Alternatif

Jumlah

Prosentase

1

Ada

10

58,82

2

Tidak ada

7

41,18

n = 17

17

100,

Sumber : Data Lapangan Yang Diolah.

Berdasarkan uraian tabel tersebut di atas dapat diketahui bahwa dari sejumlah 17 orang wanita pelaku pengguguran kandungan yang dijadikan sebagai responden, dimana sebanyak 10 orang ( 58,82% ) responden mengakui bahwa dokter ada membrikan saran agar tidak melakukan pengguguran kandungan, sedangkan sebanyak 7 orang ( 41,18% ) responden mengakui bahwa dokter tidak ada memberikan suatu saran agar tidak melakukan pengguguran kandungan.

Oleh karena itu dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pada umumnya setiap pasien yang minta bantuan untuk mengugurkan kandungannya, dokter selalu memberikan saran agar hal tersebut tidak dilakukan, akan tetapi karena saran itu ditolak oleh pasiennya dan dokter juga tetap melakukan pengguguran kandungan, maka perbuatan tersebut jelas merupakan perbuatan yang dapat dipertanggung jawabkan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan hukum pidana.

TABEL 10

SEBELUM DOKTER MELAKUKAN PENGGUGURAN KANDUNGAN PASIEN MEMBUAT SURAT PERNYATAAN TIDAK MENUNTUT DI KEMUDIAN HARI

No.

Alternatif

Jumlah

Prosentase

1

Ada

11

64,71

2

Tidak ada

6

35,29

n = 17

17

100,00

Sumber : Data Lapangan Yang Diolah.

Dari sejumlah 17 orang wanita pelaku pengguguran kandungan yang dijadikan sebagai responden, yakni sebanyak 11 orang ( 64,71% ) responden mengakui bahwa sebelum dokter melakukan pengguguran kandungan pasien ada membuat surat pernyataan tidak akan menuntut di kemudian hari, sedang sebanyak 6 orang ( 35,29% ) responden mengakui bahwa sebelum dokter melakukan pengguguran kandungan pasien tidak ada membuat surat pernyataan.

Sehubungan dengan hal tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pengguguran kandungan yang dilakukan dokter merupakan atas persetujuan pasiennya, oleh karena itu perbuatan dokter yang sengaja melakukan pengguguran kandungan terhadap pasien dan diketahuinya bahwa janin dalam kandungan masih sempurna atau tidak cacat, perbuatan demikian itu dapat dikualifisir perbuatan kejahatan sebagaimana yang ditegaskan pasal 348 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

TABEL 11

PENGGUGURAN KANDUNGAN DILAKUKAN OLEH DOKTER

No.

Alternatif

Jumlah

Prosentase

1

Di rumah sakit umum

9

52,94

2

Di tempat prakteknya

8

47,06

n = 17

17

100,00

Sumber : Data Lapangan Yang Diolah.

Sesuai dengan tabel sejumlah 17 orang wanita pelaku pengguguran kandungan yang dijadikan sebagai responden, yakni sebanyak 9 orang ( 52,94% ) responden mengakui bahwa pengguguran kandungan oleh dokter di rumah sakit umum, kemudian 8 orang ( 47,06% ) responden mengakui bahwa pengguguran kandungan dilakukan oleh dokter di tempat prakteknya.

Dilihat dari kenyataan tersebut jelas bahwa tindakan pengguguran kandungan yang sengaja dilakukan, bukan hanya dilakukan oleh dokter di rumah sakit umum melainkan dokter yang membuka praktek juga melayani untuk melakukan pengguguran kandungan. Oleh karena itu perbuatan yang demikian tidak boleh dibiarkan berkembang dalam lingkungan masyarakat, karena perbuatan tersebut adalah bertentangan dengan ketentuan hukum serta merusak citra dokter dalam menjalankan tugasnya profesinya.

TABEL 12

DOKTER YANG MELAKUKAN PENGGUGURAN KANDUNGAN

No.

Alternatif

Jumlah

Prosentase

1

Dokter Spesialis

10

52,82

2

Dokter Umum

7

41,18

n = 17

17

100,00

Sumber : Data Lapangan Yang Diolah.

Berdasarkan dengan tabel diatas dapat diproleh suatu penjelasan bahwa dari sejumlah 17 orang wanita pelaku pengguguran kandungan yang dijadikan sebagai responden, dimana 10 orang (58,82%) responden mengakui bahwa yang melakukan pengguguran kandungan adalah dokter spesialis, dan 7 orang (41,18%) responden mengakui bahwa yang melakukan pengguguran kandungan adalah dokter umum.

Sesuai dengan uraian tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dokter yang melakukan pengguguran kandungan pada umumnya adalah dokter spesialis baik dirumah sakit umum maupun ditempat prakteknya yang juga melayani pengguguran kandungan. Oleh karena itu perbuatan tersebut tidak boleh berkembang didalam lingkungan masyarakat. Karena bertentangan dengan ketentuan hukum serta merusak citra dokter dalam menjalankan profesinya.

TABEL 13

PELAKU PENGGUGURAN KANDUNGAN YANG DIAMBIL

TINDAKAN OLEH APARAT BERWENANG

No.

Alternatif

Jumlah

Prosentase

1

Pernah

-

-

2

Tidak pernah

17

17

n = 17

17

100,00

Sumber : Data Lapangan Yang Diolah.

Dari uraian tabel tersebut di atas diperoleh suatu keterangan bahwa dari sejumlah 17 orang wanita pelaku pengguguran kandungan yang dijadikan sebagai responden mengakui bahwa mereka yang melakukan pengguguran kandungan tersebut tidak pernah diambil tindakan oleh aparat pemerintah yang berwenang.

Sehubungan dengan keterangan yang telah dikemukakan oleh setiap responden, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa aparat pemerintah yang berwenang belum pernah melakukan suatu upaya baik penindakan maupun pemberantasan terhadap pelaku kejahatan tersebut. Oleh karena itu perlu adanya upaya dari aparat penegak hukum melakukan pengawasan secara intensif di tempat dokter yang melakukan praktek aborsi guna mengungkapkan perbuatan pidana itu, serta memberikan sanksi hukuman secara tegas terhadap para pelaku yang terlibat perbuatan kejahatan tersebut.

Hal ini bertujuan agar ketentuan pasal 348 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dapat berlaku secara murni dan konsekuen sepeti yang diharapkan oleh pihak pemerintah, sehingga tercipta suatu ketertiban dan keamanan didalam lingkungan masyarakat.


TABEL 14

PENGETAHUAN TENTANG PENGGUGURAN KANDUNGAN

DILARANG OLEH UNDANG-UNDANG

No.

Alternatif

Jumlah

Prosentase

1

Tahu

10

58,82

2

Tidak tahu

7

41,18

n = 17

17

100,00

Sumber : Data Lapangan Yang Diolah.

Dari sejumlah 17 orang pasien wanita pelaku pengguguran kandungan yang dijadikan sebagai responden, dimana sebanyak 10 orang ( 58,82% ) responden mengakui tahu bahwa pengguguran kandungan dilarang oleh ketentuan Undang-Undang, sedangkan sebanyak 7 orang ( 41,18% ) responden mengakui tidak mengetahui bahwa pengguguran kandungan dilarang oleh ketentuan Undang-Undang.

Sehubungan dengan hal tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa perbuatan kejahatan adalah dilakukan secara direncanakan karena para pelaku pengguguran kandungan pada umumnya mengetahui pengguguran kandungan itu dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu maka setiap pelaku yang terlibat dalam perbuatan kejahatan tersebut dikenakan sanksi pidana sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya.

B. Pembuktian Hipotesa

Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, maka dlam penelitian ini penulis akan membuktikan hipotesa sebagai berikut :

1. Tabel 2 dipergunakan untuk membuktikan tingkat pendidikan.

2. Tabel 3 dipergunakan untuk membuktikan sebab pengguguran kandungan dilakukan.

3. Tabel 4 dipergunakan untuk membuktikan status yang melakukan pengguguran kandungan.

4. Tabel 5 dipergunakan untuk membuktikan umur kandungan yang digugurkan.

5. Tabel 6 dipergunakan untuk membuktikan pengguguran kandungan dilakukan atas kemauan sendiri.

6. Tabel 7 dipergunakan Alasan Ibu melakukan pengguguran kandungan.

7. Tabel 8 dipergunakan untuk membuktikan dokter ada menolak melakukan pengguguran kandungan.

8. Tabel 9 dipergunakan untuk membuktikan dokter ada memberikan saran agar tidak dilakukan pengguguran kandungan.

9. Tabel 10 dipergunakan untuk membuktikan sebelum dokter melakukan pengguguran kandungan membuat surat pernyataan tidak dituntut dikemudian hari.

10. Tabel 11 dipergunakan untuk membuktikan pengguguran kandungan oleh dokter.

11. Tabel 12 dipergunakan untuk membuktikan dokter yang melakukan pengguguran kandungan.

12. Tabel 13 dipergunakan untuk membuktikan pelaku pengguguran kandungan yang diambil tindakan oleh aparat yang berwenang.

13. Tabel 14 dipergunakan untuk membuktikan pengetahuan tentang pengguguran kandungan dilarang oleh Undang-Undang.

Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan pihak dokter di Rumah Sakit Umum Soedarso Pontianak, dan para pihak dokter yang membuka praktek di Kotamadia Pontianan dapat dilihat pada uraian sebagai berikut :

1. Berdasarkan hasil wawancara dengan dokter di Rumah Sakit Umum Soedarso Pontianak bahwa dalam melaksanakan tugas, dokter dapat melakukan pengguguran kandungan baik terhadap kandungan ibu yang mengalami pendarahan maupun yang tidak mengalami pendarahan.

2. Berdasarkan hasil wawancara dengan dokter umum yang membuka praktek di Kotamadia pontianak, mangakui bahwa dalam menjalankan tugasnya pernah membantu menggugurkan kandungan atas permintaan pasiennya, karena kegagalan dalam menggunakan alat kontrasepsi KB ( Keluarga Berencana ).

BAB IV

P E N U T U P

Berdasarkan dari uraian-uraian yang telah dikemukakan pada awalnya, maka penulis akan mengemukakan kesimpulan sebagai berikut :

A. Kesimpulan

1. Bahwa pengguguran kandungan yang dilakukan oleh dokter pada umumnya adalah terhadap kandungan yang berumur kurang lebih 2 – 4 bulan dan tindakan tersebut jelas merupakan perbuatan kejahatan, karena pengguguran kandungan itu sengaja dilakukan oleh dokter atas dasar permintaan pasiennya.

2. Bahwa dalam praktek pengguguran kandungan para pelaku yang terlibat atau turut serta membantu proses terlaksananya pengguguran kandungan belum ada yang diambil suatu tindakan hukum menurut pasal 348 Kitab Undan- Undang Hukum Pidana.

3. Bahwa wanita yang hamil cenderung melakukan pengguguran kandungan, hal ini adalah disebabkan oleh faktor tekananekonomi, kurang berhasilnya penggunaan alat kontrasepsi KB, hamil diluar perkawinan yang syah.

Sedangkan akibat dari tindakan dokter yang melakukan pengguguran kandungan akan mengakibatkan bertambah banyaknya kematian bayi.

4.

62

Berdasarkan penjelasan Ketua IDI Propinsi Kalimantan Barat bahwa perbuatan dokter yang melakukan pengguguran kandungan atas permintaan pasiennya merupakan perbuatan melanggar kode etik kedokteran, karena dalam menjalankan tugasnya dokter tersebut telah melakukan perbuatan yang menyimpang dari wewenangnya serta tidak menjunjung tinggi sumpah jabatannya.

B. Saran – Saran

1. Diharapkan kepada aparat pemerintah yang berwenang untuk mengambil tindakan serta memberikan sanksi hukum secara tegas terhadap para pelaku tindak pidana, baik dokter maupun pasien serta para pihak yang terlibat dalam membantu pengguguran kandungan.

2. Diharapkan kepada aparat pemerintah yang berwenang agar melakukan pengawasan secara intensif serta melakukan penyelidikan dimana tempat dokter atau ahli medis membuka prakteknya guna mengungkapkan perbuatan kejahatan tersebut.

3. Diharapkan kepada aparat pemerintah yang berwenang untuk memberikan penyuluhan terhadap warga masyarakat terutama terhadap kaum ibu, remaja putri yang menggunakan alat kontrasepsi KB maupun tidak menggunakan alat kontrasepsi KB, agar mereka tidak mempunyai niat untuk melakukan pengguguran kandungan.

4. Diharapkan kepada dokter atau ahli medis agar dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi sumpah jabatannya, yakni tidak mengambil keputusan untuk melakukan pengguguran kandungan dengan alasan non-medis.

DAFTAR PUSTAKA

B. sahetapy, J.E. Reksodipuro Mardjono, Parados Dalam Kriminologi, CV, Rajawali, Jakarta, 1983.

Bassar Sudrajat, M, Hukum Pidana (pelengkap KUHP), Armico,

Bandung, 1983,

Boger, W. A, Pengantar Tentang Kriminologi, Ghalia Indonesia,

Jakarta, 1977.

D,Soedjono, Dokrtin- doktrin Kriminologi, Alumni, Bandung, 1969,

, Penanggulangan Kejahatan ( Crime Prevention ), Alumni, Bandung, 1983.

, Ruang Kriminologi, CV. Remaja Karya, Bandung, 1984.

, Bunga Rampai Kriminologi, Armico, Bandung, 1985.

Gerson, W, Bawengan, Hukum Pidana Didalam Teori dan Praktek, Pradnya Paramita, Jakarta, 1979.

Guwandi, J, Dokter dan Hukum, Monella, Jakarta.

Herwitz Stephen, Kriminologi, Saduran Ny. L. Moelyanto,PT. Bina Aksara, Jakarta, 1982.

Kartanegara Satochid, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, Bagian satu Balai Lektur Mahasiswa.

, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, Bagian Dua Balai Lektur Mahasiswa.

Kusumah Mulyana, W, Kriminologi, dan Masalah Kejahatan ( Suatu Pengantar Ringkas). Armico, Bandung, 1984.

Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983.

, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, ( KUHP) Bina Aksara, Jogyakarta, 1983.



65


Newland Kathleen dan Erick Eckholm, Wanita, Kesehatan Dan Keluarga Berencana, Sinar Harapan, Jakarta, 1984.

Pornomo Bambang, Hukum Pidana Kumpulan Karangan Imiah, Bina Aksara, Jakarta, 1982.

, Azas-azas Hukum Pidana,Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.

Prodjodikoro Wirjono, Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung , 1986.

Soesilo, R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Poleteia,Bogor, 1985.

, Kriminologi, ( Pengantar Tentang Sebab-Sebab Kejahatan), Politeia Bogor, 1985.

Soekanto Soerjono, Likliuwata Hengkie;Kusumah Mulyana, W. Kriminologi Suatu Penghantar, Ghalia Indonesia,1981.

Saleh Roeslan, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983.

Soemitro Hanitijo Ronny, Metodologi Penelitian Hukum dan Jerumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta 1988.

Kamus besar Bahasa Indonesia, Tim Penyusunan Kamus Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departement Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta 1989.

Varia Peradilan. Tanun II Nomor 18, Maret 1987.

, Tahun II Nomor 23, Agustus 1987.

, Tahun II Nomor 24, September 1987.

, Tahun V Nomor 60, September 1990.



[1] Prof. Mr. Roelan Saleh : Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta 1983, Halaman 13.

[2] Prof. Moeljatno, SH : Asas- Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta 1983, Halaman 54

[3] Prof. Satochid Kartanegara, SH. Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, Halaman 74

[4] Ibid, halaman 293

[5] R. Soesilo, Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar- komentarnya lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, halaman 218

[6] Ibid, halaman 221

[7] Bambang Poernomo, SH., Hukum Pidana Kumpulan Karangan Ilmiah, Bina Aksara, Jakarta, 1982, halaman 137

[8] Ibid, halaman 137

[9]Satochid Kartanegara, Hukum Pidana I, Balai Lektur Mahasiswa, Halaman 46.

[10] Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta 1983, Halaman 54.

[11]W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, Ghalia Indonesia, Jakarta 1977, Halaman 21.

[12] Soedjono D, Doktrin- Doktrin Kriminologi, Alumni, Bandung 1969, Halaman 40.

[13] R. Soesilo, Kriminologi (Pengantar Tentang Sebab- Sebab Kejahatan), Politea Bogor 1985, Halaman 11

[14] Prof. Moeljatno, SH. Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta 1983, Halaman 2

[15] Mulyana W. Kusumah, Krimininologi Dan Masalah Kejahatan (Suatu Pengantar Ringkas), Armico, Bandung 1984.

[16] Soerjono Soekanto, Hengkie Likliuwata, Mulyana W. Kusumah, Kriminologi Suatu Pengantar, Ghalia Indonesia 1981, Halaman 21

[17] J.E. Sahetapy, B. Mardjono Reksodipuro, Parados Dalam Kriminologi, CV. Rajawali, Jakarta 1983, Halaman 2.

[18]Soedjono D, Ruang Kriminologi, CV. Remaja Karya, Bandung 1984, Halaman 12.

[19]Moeljatno. Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, Bina Aksara, 1983, Halaman 30.

[20] Varia Peradilan dan Majalah Hukum, Agustus 1987, Halaman 158.

[21] I b i d , Halaman 128

[22] J. Guwandi, Dokter Dan Hukum, Monella, Jakarta 1994, Halaman 48

[23] Bambang Poernomo, Op cit, Halaman 137

[24] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta 1989, Halaman 2

[25] Moeljatno, Loc cit, Halaman 148

[26] I b i d, Halaman 148.

[27] R. Soesilo, Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, Serta Komentar- Komentarnya Pasal Demi Pasal, Politia Bogor, 1965, Halaman 193

[28] I b i d, halaman 149.

[29] D. Soedjono, Penanggulangan Kejahatan, Alumni Bandung 1983, Halaman 29.

[30] Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Kumpulan Karangan Ilmiah, Bina Aksara, 1982, Halaman 141

[31] Soedjono Dirjosisworo, Bunga Rampai Kriminologi, Armico Bandung 1985, Halaman 167

[32] R. Soesilo, Kriminologi (Kriminologi Tentang Sebab-Sebab Kejahatan), Politia Bogor 1985, Halaman 26.

[33] Stephen Hurwitz, Kriminologi, Saduran Ny. L. Moelyatno, PT. Bina Aksara, Jakarta 1982. Halaman 112.

[34] W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, Ghalia Indonesia 1981, Halaman 169

[35] Soedjono D, Penanggulangan Kejahatan (Crime Prevention), Alumni Bandung 1983, Halaman 216

[36] Ibid, Halaman 217

M. Thoyib HM

terkadang kehidupan dunia membuat kita lalai dalam mengerjakan apa yang telah menjadi sebuah kewajiban untuk akhirat

1 Comments

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post